Surabaya, gerbangnusantaranews.Com
PANDEMI Covid-19 memiliki dampak luar biasa bagi perubahan dunia. Covid-19 tidak mengenal pangkat, kasta, suku, agama, ras, pekerjaan. Virus Covid-19 ‘menebang’ semuanya tanpa pandang bulu. Tidak terkecuali tenaga kesehatan, mereka yang mendalami ilmu medis tidak serta merta kebal dan selamat dari ancaman Covid-19.
Pemerintah Amerika Serikat menyampaikan sudah terdapat 49 tenaga medis yang gugur akibat Covid-19. Namun, The Guardian telah mencatat 200 kematian yang telah dilaporkan dalam berita, tetapi jumlah sebenarnya kemungkinan akan lebih tinggi karena tidak semua kematian akan berada di domain publik.
Sementara di Indonesia menurut gugus tugas penanganan Covid-19 data terakhir terdapat 55 tenaga medis yang gugur akibat ‘ganasnya’ Covid-19.
Menurut The Conversation, dari 100 kematian akibat Covid-19 terdapat 6-7 orang merupakan tenaga medis. Risiko ini diduga karena karena tenaga medis mau tidak mau akan terpapar oleh pasien Covid-19 yang tidak menampakkan gejala.
Fenomena ping pong infection, sekali-dua kali terpapar masih bisa dilawan oleh imunitas tubuh, dan setelah sekian kali terpapar dan saat imunitas tenaga medis turun, ia akan teinfeksi Covid-19 terlebih bila tidak didukung Alat
Pelindung Diri adekuat.
Inilah tantangan dan risiko pekerjaan tenaga medis di lapangan. Baik dokter, perawat, bidan adalah manusia yang sama halnya juga dengan yang lain punya rasa ketakutan tertular Covid-19.
Ada banyak kisah sedih para tenaga medis berjibaku dengan Covid-19 di jantung pertahanan di rumah sakit dan juga puskesmas.
Kisah seorang dokter perempuan di salah satu puskesmas di Depok, terinfeksi covid-19 dan harus terpisah dari anaknya yang berusia 1,5 tahun. Seorang dokter pria gugur akibat Covid-19 padahal sebentar lagi menuju pelaminan.
Terakhir di Surabaya, kisah sedih seorang perawat yang gugur akibat Covid-19 di tengah kehamilan 4 bulan.
Di tengah jatuh bangunnya tenaga kesehatan berjuang menyelamatkan nyawa orang lain dan tidak menjamin keselamatan dirinya sendiri, di luar sana imajinasi publik dirusak oleh pemberitaan yang tidak benar.
Konspirasi elite global, WHO, dan para pemodal untuk menguasai dunia dengan adanya Covid-19. Dokter dituduh mendapat bonus puluhan hingga ratusan juta bila membuat klaim kematian pasien dengan diagnosis Covid-19.
Seakan tenaga medis mendapat berkah dari pandemi ini.
Issue miring lain adalah tenaga medis lebih diuntungkan nasibnya apabila dibanding dengan profesi atau pekerjaan lain karena dikatakan besaran insentif pemerintah untuk para tenaga medis yang menangani Covid-19.
Seperti yang disampaikan pemerintah besaran insentif tenaga kesehatan sebagai berikut: dokter spesialis 15 juta, dokter umum dan dokter gigi 10 juta, bidan/perawat 7,5 juta, tenaga kesehatan lain 5 juta.
Publik belum banyak yang tahu beban pelayanan tenaga medis di era Covid-19. Bagaimana rasa panas ketika menggunakan APD Cover all berjam-jam dengan masker N95 ketat. Belum lagi bila ditambah dengan saat melakukan operasi pasien Covid-19 yang rata-rata memakan waktu dari persdiapan operasi hinga selesai operasi berdurasi sekitar 3-4 jam.
Belum lagi merasakan tekanan psikologi ketika pasien datan dalam jumlah banyak dan diagnosis PDP Covid-19, melebihi daya tamping IGD/ruangan?
Meskipun dikatakan Lelah, hingga detik ini, belum ada satu pun tenaga medis yang menuntut janji pemerintah terkait insentif ini untuk segera direalisasikan. Karena tenaga medis juga memahami bagaimana beban negara sangat berat dan masih banyak pula rakyat yang terdampak akibat Covid-19.
Inilah yang dinamakan sikap altruisme, kerelaan yang sungguh-sungguh tidak semata mendapat imbalan.
Apa yang sebetulnya diharapkan oleh tenaga medis di lapangan pengabdian ialah sebuah pengertian dari pemerintah dan masyarakat.
Pemerintah harus memiliki kepekaan, turun menyerap aspirasi tenaga medis hingga level terbawah. Sekali waktu kami berharap orang-orang pemerintahan atau pemangku kebijakan mengunjungi Instalasi gawat darurat rumah sakir rujukan Covid-19 untuk sekedar mengamati dengan seksama secara langsung bagaimana beratnya rekan-rekan tenaga medis memberikan pelayanan di era Covid-19 terutama beberapa rumah sakit yang sudah jebol pertahanannya, overload karena banyaknya kasus Covid-19.
Para pemangku kebijakan sebaiknya tidak melakukan akrobat politik di tengah pandemi seperti yang terjadi antara Gubernur Jawa Timur dan Walikota Surabaya. Ketidakharmonisan ini justru akan memperparah dan memperlama pandemi.
Jujur kejadian ini sangat melukai hati para tenaga medis. Kami menunggu kedua srikandi ini akur dan melakukan kunjunan bersama untuk sekedar menyapa perawat IGD, “Apakah APD nya cukup?Apakah ruangannya sudah memadai?
Pengertian yang diharapkan tenaga medis kepada masyarakat ialah bersikap patuh terhadap protokol kesehatan yang dibuat oleh pemerintah sebagai bentuk bela negara.
Perang ini akan berakhir bila masyarakat menyadari betul perannya sebagai garda terdepan pencegahan covid-19. Perjuangan kolektif masyarakat yang sungguh-sugguh akan memperingan tugas kami di garda terdepan penanganan covid-19.oleh : Dr. Sonny Fadli
Residen Obstetri & Ginekologi FK Unair/RSUD dr. Soetomo Surabaya.(GNN Patner)
PANDEMI Covid-19 memiliki dampak luar biasa bagi perubahan dunia. Covid-19 tidak mengenal pangkat, kasta, suku, agama, ras, pekerjaan. Virus Covid-19 ‘menebang’ semuanya tanpa pandang bulu. Tidak terkecuali tenaga kesehatan, mereka yang mendalami ilmu medis tidak serta merta kebal dan selamat dari ancaman Covid-19.
Pemerintah Amerika Serikat menyampaikan sudah terdapat 49 tenaga medis yang gugur akibat Covid-19. Namun, The Guardian telah mencatat 200 kematian yang telah dilaporkan dalam berita, tetapi jumlah sebenarnya kemungkinan akan lebih tinggi karena tidak semua kematian akan berada di domain publik.
Sementara di Indonesia menurut gugus tugas penanganan Covid-19 data terakhir terdapat 55 tenaga medis yang gugur akibat ‘ganasnya’ Covid-19.
Menurut The Conversation, dari 100 kematian akibat Covid-19 terdapat 6-7 orang merupakan tenaga medis. Risiko ini diduga karena karena tenaga medis mau tidak mau akan terpapar oleh pasien Covid-19 yang tidak menampakkan gejala.
Fenomena ping pong infection, sekali-dua kali terpapar masih bisa dilawan oleh imunitas tubuh, dan setelah sekian kali terpapar dan saat imunitas tenaga medis turun, ia akan teinfeksi Covid-19 terlebih bila tidak didukung Alat
Pelindung Diri adekuat.
Inilah tantangan dan risiko pekerjaan tenaga medis di lapangan. Baik dokter, perawat, bidan adalah manusia yang sama halnya juga dengan yang lain punya rasa ketakutan tertular Covid-19.
Ada banyak kisah sedih para tenaga medis berjibaku dengan Covid-19 di jantung pertahanan di rumah sakit dan juga puskesmas.
Kisah seorang dokter perempuan di salah satu puskesmas di Depok, terinfeksi covid-19 dan harus terpisah dari anaknya yang berusia 1,5 tahun. Seorang dokter pria gugur akibat Covid-19 padahal sebentar lagi menuju pelaminan.
Terakhir di Surabaya, kisah sedih seorang perawat yang gugur akibat Covid-19 di tengah kehamilan 4 bulan.
Di tengah jatuh bangunnya tenaga kesehatan berjuang menyelamatkan nyawa orang lain dan tidak menjamin keselamatan dirinya sendiri, di luar sana imajinasi publik dirusak oleh pemberitaan yang tidak benar.
Konspirasi elite global, WHO, dan para pemodal untuk menguasai dunia dengan adanya Covid-19. Dokter dituduh mendapat bonus puluhan hingga ratusan juta bila membuat klaim kematian pasien dengan diagnosis Covid-19.
Seakan tenaga medis mendapat berkah dari pandemi ini.
Issue miring lain adalah tenaga medis lebih diuntungkan nasibnya apabila dibanding dengan profesi atau pekerjaan lain karena dikatakan besaran insentif pemerintah untuk para tenaga medis yang menangani Covid-19.
Seperti yang disampaikan pemerintah besaran insentif tenaga kesehatan sebagai berikut: dokter spesialis 15 juta, dokter umum dan dokter gigi 10 juta, bidan/perawat 7,5 juta, tenaga kesehatan lain 5 juta.
Publik belum banyak yang tahu beban pelayanan tenaga medis di era Covid-19. Bagaimana rasa panas ketika menggunakan APD Cover all berjam-jam dengan masker N95 ketat. Belum lagi bila ditambah dengan saat melakukan operasi pasien Covid-19 yang rata-rata memakan waktu dari persdiapan operasi hinga selesai operasi berdurasi sekitar 3-4 jam.
Belum lagi merasakan tekanan psikologi ketika pasien datan dalam jumlah banyak dan diagnosis PDP Covid-19, melebihi daya tamping IGD/ruangan?
Meskipun dikatakan Lelah, hingga detik ini, belum ada satu pun tenaga medis yang menuntut janji pemerintah terkait insentif ini untuk segera direalisasikan. Karena tenaga medis juga memahami bagaimana beban negara sangat berat dan masih banyak pula rakyat yang terdampak akibat Covid-19.
Inilah yang dinamakan sikap altruisme, kerelaan yang sungguh-sungguh tidak semata mendapat imbalan.
Apa yang sebetulnya diharapkan oleh tenaga medis di lapangan pengabdian ialah sebuah pengertian dari pemerintah dan masyarakat.
Pemerintah harus memiliki kepekaan, turun menyerap aspirasi tenaga medis hingga level terbawah. Sekali waktu kami berharap orang-orang pemerintahan atau pemangku kebijakan mengunjungi Instalasi gawat darurat rumah sakir rujukan Covid-19 untuk sekedar mengamati dengan seksama secara langsung bagaimana beratnya rekan-rekan tenaga medis memberikan pelayanan di era Covid-19 terutama beberapa rumah sakit yang sudah jebol pertahanannya, overload karena banyaknya kasus Covid-19.
Para pemangku kebijakan sebaiknya tidak melakukan akrobat politik di tengah pandemi seperti yang terjadi antara Gubernur Jawa Timur dan Walikota Surabaya. Ketidakharmonisan ini justru akan memperparah dan memperlama pandemi.
Jujur kejadian ini sangat melukai hati para tenaga medis. Kami menunggu kedua srikandi ini akur dan melakukan kunjunan bersama untuk sekedar menyapa perawat IGD, “Apakah APD nya cukup?Apakah ruangannya sudah memadai?
Pengertian yang diharapkan tenaga medis kepada masyarakat ialah bersikap patuh terhadap protokol kesehatan yang dibuat oleh pemerintah sebagai bentuk bela negara.
Perang ini akan berakhir bila masyarakat menyadari betul perannya sebagai garda terdepan pencegahan covid-19. Perjuangan kolektif masyarakat yang sungguh-sugguh akan memperingan tugas kami di garda terdepan penanganan covid-19.oleh : Dr. Sonny Fadli
Residen Obstetri & Ginekologi FK Unair/RSUD dr. Soetomo Surabaya.(GNN Patner)