Surabaya, gerbangnusantaranews.com
PANDEMI Covid-19 tidak tidak akan bisa diselesaikan dengan program yang dibuat berdasarkan pendekatan kekuasaan.
Covid-19 lamban diatasi bila keterlibatan unsur penting seperti dokter, ahli kesehatan masyarakat, epidemiologi justru menjadi second line dari pengambilan keputusan, perencanaan, dan eksekusi di lapangan.
Salah satu contoh dari yang tersebut di atas salah satunya dalam pemberlakuan keputusan new normal di beberapa kota/kabupaten justru berdasarkan rekomendasi dari Lembaga survei Indonesia berdasarkan penelitian kualitatif.
Untuk urusan survei popularitas dan kapabilitas dalam pilkada mungkin ‘kacamata’ Lembaga survei bisa diandalkan.
Sehubungan dengan wabah, epidemi, pandemi ‘kacamata’ pakar kesehatan masyarakat dan khususnya epidemiologi akan lebih tepat karena kompleksnya persoalan kesehatan.
Disa Cornish, asisten professor ilmu kesehatan masyarakat University of Northern Iowa, menjelaskan peranan perspektif epidemiologi dalam menanggulangi Covid-19. Epidemiologi memiliki beberapa kegunaan yang sangat penting untuk memahami penyakit dan bagaimana mereka berdampak pada komunitas yang berbeda.
Hal Ini membantu kami menilai kesehatan masyarakat dengan mencari tahu apakah populasi tertentu berisiko lebih tinggi dan apakah layanan kesehatan disiapkan untuk menangani masalah kesehatan
Epidemiolog bekerja keras untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana tindakan kesehatan masyarakat seperti menutup sekolah atau mempraktikkan jarak sosial dapat membantu kita ‘meratakan kurva’ dan mengurangi keparahan wabah.
Ahli epidemiologi juga melihat sejarah misalkan pandemi Flu spanyol 1 abad lalu, untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana hal-hal dapat bekerja di masa sekarang dan atau masa depan.
Seperti dikatakan Dr Poonam Khetrapal Singh, pejabat WHO yang mengurusi Kawasan Asia Tenggara. “Negara-negara di Kawasan harus terus mengambil tindakan yang berdasarkan bukti dan melakukan penilaian risiko dengan hati-hati sembari meningkatkan kesehatan masyarakat dan tindakan sosial.
Fokusnya harus pada epidemiologi lokal COVID-19, untuk mengidentifikasi hot-spot (kasus) dan klaster, dan kapasitas sistem (kesiapan sarana kesehatan) dan tenaga kesehatan untuk menemukan, mengisolasi dan merawat kasus, dan karantina”
Sebelumnya Dr Poonam Khetrapal Singh menyarankan untuk menghadapi Covid-19 ini secara agresif tentunya dengan mengandalkan perangkat epidemiologi.
Tindakan agresif yang berbasis bukti dengan ‘kaca mata’ dan analisa epidemiologi ini lah yang sebetulnya diperlukan untuk mengatasi pandemi Covid-19 termasuk di Indonesia.
“…make them believe, that offensive operations, often times, is the surest, if not the only (in some cases) means of defence.”
Pertahanan yang baik ialah dengan melakukan serangan yang terbaik.
Strategi perjuangan untuk mengentaskan kehidupan mayarakat Indonesia dari belenggu pandemi ini sebetulnya sangat ditentukan oleh para pakar epidemiolog.
Tidak berlebihan kiranya bila posisi epidemiolog saya katakan (mengutip istilah guru saya Profesor dr. M.Dikman Angsar, SpOG (K)) sebagai very-very important person.
Mereka lah justru dijadikan panglima dalam mengatasi pandemi saat ini dan bagaimana menyusun hari depan Indonesia.
Saya menjadi teringat dengan pesan almarhum guru saya Prof. dr. Prajitno Wibowo, SpOG (K) pada tahun 2015 bahwa ada ilmu yang sangat penting, sebetulnya sangat diperlukan oleh negara berkembang termasuk Indonesia, ilmu itu adalah epidemiologi.
Pelajarilah.
Bila kita belajar dari cina, ketika Wuhan mendapat ‘serangan’ Covid-19 yang mereka lakukan dengan sangat cepat yakni membangun rumah sakit darurat Covid-19, melengkapi sarana teknologi tracing kasus, dan menghimpun ribuan epidemiolog untuk memecahkan persoalan penyakit virus ini.
Data tahun 2014 Indonesia hanya memiliki 357 ahli epidemiologi. Tentu jumlah ini sangat sedikit. Namun, berapapun jumlahnya di tengah pandemi ini mereka lah mutiara emas dimana keilmuannya diperlukan untuk merancang strategi ala Indonesia berbasis bukti bukan berdasarkan kaida-kaidah yang lemah.
Pemerintah Indonesia masih belum terlambat untuk menghimpun para pakar epidemiologi dan ahli kesehatan masyarakat untuk bersinergi dengan tenaga kesehatan lain di lapangan. Dan tentu tidak hanya untuk kepentingan menyelesaikan pandemi saja melainkan menyiapkan pertahanan Indonesia ke depan menghadapi kemungkinan adanya pandemic penyakit lainnya.
Kita harus percaya diri, untuk kepentingan rakyat, bangsa, dan negara dengan meletakkan the right man in the right place akan lebih dirasakan manfaatnya apabila dibandingkan pertimbangan politis the wrong man in the wrong place.
(oleh : dr. Sonny Fadli
Residen Obstetri & Ginekologi FK Unair/RSUD dr. Soetomo Surabaya).(GNN Patner)
PANDEMI Covid-19 tidak tidak akan bisa diselesaikan dengan program yang dibuat berdasarkan pendekatan kekuasaan.
Covid-19 lamban diatasi bila keterlibatan unsur penting seperti dokter, ahli kesehatan masyarakat, epidemiologi justru menjadi second line dari pengambilan keputusan, perencanaan, dan eksekusi di lapangan.
Salah satu contoh dari yang tersebut di atas salah satunya dalam pemberlakuan keputusan new normal di beberapa kota/kabupaten justru berdasarkan rekomendasi dari Lembaga survei Indonesia berdasarkan penelitian kualitatif.
Untuk urusan survei popularitas dan kapabilitas dalam pilkada mungkin ‘kacamata’ Lembaga survei bisa diandalkan.
Sehubungan dengan wabah, epidemi, pandemi ‘kacamata’ pakar kesehatan masyarakat dan khususnya epidemiologi akan lebih tepat karena kompleksnya persoalan kesehatan.
Disa Cornish, asisten professor ilmu kesehatan masyarakat University of Northern Iowa, menjelaskan peranan perspektif epidemiologi dalam menanggulangi Covid-19. Epidemiologi memiliki beberapa kegunaan yang sangat penting untuk memahami penyakit dan bagaimana mereka berdampak pada komunitas yang berbeda.
Hal Ini membantu kami menilai kesehatan masyarakat dengan mencari tahu apakah populasi tertentu berisiko lebih tinggi dan apakah layanan kesehatan disiapkan untuk menangani masalah kesehatan
Epidemiolog bekerja keras untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana tindakan kesehatan masyarakat seperti menutup sekolah atau mempraktikkan jarak sosial dapat membantu kita ‘meratakan kurva’ dan mengurangi keparahan wabah.
Ahli epidemiologi juga melihat sejarah misalkan pandemi Flu spanyol 1 abad lalu, untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana hal-hal dapat bekerja di masa sekarang dan atau masa depan.
Seperti dikatakan Dr Poonam Khetrapal Singh, pejabat WHO yang mengurusi Kawasan Asia Tenggara. “Negara-negara di Kawasan harus terus mengambil tindakan yang berdasarkan bukti dan melakukan penilaian risiko dengan hati-hati sembari meningkatkan kesehatan masyarakat dan tindakan sosial.
Fokusnya harus pada epidemiologi lokal COVID-19, untuk mengidentifikasi hot-spot (kasus) dan klaster, dan kapasitas sistem (kesiapan sarana kesehatan) dan tenaga kesehatan untuk menemukan, mengisolasi dan merawat kasus, dan karantina”
Sebelumnya Dr Poonam Khetrapal Singh menyarankan untuk menghadapi Covid-19 ini secara agresif tentunya dengan mengandalkan perangkat epidemiologi.
Tindakan agresif yang berbasis bukti dengan ‘kaca mata’ dan analisa epidemiologi ini lah yang sebetulnya diperlukan untuk mengatasi pandemi Covid-19 termasuk di Indonesia.
“…make them believe, that offensive operations, often times, is the surest, if not the only (in some cases) means of defence.”
Pertahanan yang baik ialah dengan melakukan serangan yang terbaik.
Strategi perjuangan untuk mengentaskan kehidupan mayarakat Indonesia dari belenggu pandemi ini sebetulnya sangat ditentukan oleh para pakar epidemiolog.
Tidak berlebihan kiranya bila posisi epidemiolog saya katakan (mengutip istilah guru saya Profesor dr. M.Dikman Angsar, SpOG (K)) sebagai very-very important person.
Mereka lah justru dijadikan panglima dalam mengatasi pandemi saat ini dan bagaimana menyusun hari depan Indonesia.
Saya menjadi teringat dengan pesan almarhum guru saya Prof. dr. Prajitno Wibowo, SpOG (K) pada tahun 2015 bahwa ada ilmu yang sangat penting, sebetulnya sangat diperlukan oleh negara berkembang termasuk Indonesia, ilmu itu adalah epidemiologi.
Pelajarilah.
Bila kita belajar dari cina, ketika Wuhan mendapat ‘serangan’ Covid-19 yang mereka lakukan dengan sangat cepat yakni membangun rumah sakit darurat Covid-19, melengkapi sarana teknologi tracing kasus, dan menghimpun ribuan epidemiolog untuk memecahkan persoalan penyakit virus ini.
Data tahun 2014 Indonesia hanya memiliki 357 ahli epidemiologi. Tentu jumlah ini sangat sedikit. Namun, berapapun jumlahnya di tengah pandemi ini mereka lah mutiara emas dimana keilmuannya diperlukan untuk merancang strategi ala Indonesia berbasis bukti bukan berdasarkan kaida-kaidah yang lemah.
Pemerintah Indonesia masih belum terlambat untuk menghimpun para pakar epidemiologi dan ahli kesehatan masyarakat untuk bersinergi dengan tenaga kesehatan lain di lapangan. Dan tentu tidak hanya untuk kepentingan menyelesaikan pandemi saja melainkan menyiapkan pertahanan Indonesia ke depan menghadapi kemungkinan adanya pandemic penyakit lainnya.
Kita harus percaya diri, untuk kepentingan rakyat, bangsa, dan negara dengan meletakkan the right man in the right place akan lebih dirasakan manfaatnya apabila dibandingkan pertimbangan politis the wrong man in the wrong place.
(oleh : dr. Sonny Fadli
Residen Obstetri & Ginekologi FK Unair/RSUD dr. Soetomo Surabaya).(GNN Patner)