Dalam pandangan produk hukum Indonesia, definisi mengenai arti pemilih muda adalah sebagai populasi yang berusia 17-39 tahun. Definisi tersebut mengadopsi syarat pemilih dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pada pasal 1 ayat 34 disebutkan bahwa pemilih adalah warga negara yang telah genap berusia 17 tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin, Sementara rentang 39 tahun mengadopsi batas usia populasi milenial yang didefinisikan Badan Pusat Statistik dalam Sensus Penduduk 2020.
Pemilihan Umum 2024 diperkirakan akan menandai sejumlah perubahan penting dalam lanskap politik Indonesia ke depan. Dari sisi politik, petahana Presiden Joko Widodo yang sudah menjabat selama dua periode tidak bisa lagi mencalonkan diri sehingga membuat level kompetisi antar-calon presiden kian ketat. Kompetisi antar-partai diprediksi masih dinamis, meskipun sudah terbentuk stabilitas suara partai pada tingkat pemilih.
Pemilu nanti akan strategis karena pemerintahan baru yang terpilih akan mempersiapkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) periode 2025-2045 atau untuk 20 tahun ke depan. Pemilu 2024 akan menjadi pemilu ke-6 setelah reformasi dan harusnya kian menunjukkan kematangan kita dalam berdemokrasi.
Pada tingkat populasi menjelang pemilu nanti terjadi perubahan demografi yang ditandai dengan membesarnya jumlah pemilih muda (generasi z dan milenial) yang berusia 17-39 tahun.
CSIS memproyeksikan jumlah pemilih muda dalam pemilu kali ini mendekati 60 persen dari total pemilih. Bila dikonversi jumlah pemilih muda bisa mendekati 114 juta orang.
Perubahan lanskap politik ke depan akan didorong oleh tipikal pemilih muda yang dinamis, adaptif dan responsif, terutama pergeseran minat mereka pada isu-isu politik dan karakteristik
kepemimpinan nasional. Faktor penetrasi internet dan meningkatnya penggunaan media sosial juga diperkirakan akan mengubah arah dan preferensi politik pemilih muda. Media sosial pada level tertentu diprediksi akan mempengaruhi perubahan perilaku anak muda dalam memilih capres dan partai politik.
Stagnasi demokrasi telah menjadi tema utama politik Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, yang didukung oleh beberapa isu soal pelemahan beberapa lembaga demokrasi dan sempitnya ruang kebebasan sipil. Tren di beberapa negara demokrasi di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa kekecewaan masyarakat pada institusi negara dapat menjadi alasan munculnya dukungan pada rezim otokrasi.
Secara umum komitmen generasi muda di Indonesia pada demokrasi masih terbilang tinggi, meskipun mengalami sedikit penurunan dibandingkan pada tahun 2018. Masih cukup banyak orang yang menilai ruang kebebasan untuk menyampaikan kritik kepada pemerintah terbilang sempit. Sementara di antara lembaga-lembaga negara, lembaga legislatif DPR (Dewan
Perwakilan Rakyat) menjadi yang paling mengalami krisis kepercayaan di antara sebagian besar pemilih muda.
Dengan demikian secara umum generasi Z dan milenial di Indonesia tidak bisa dikatakan mengikuti tren dunia kepada dukungan pada rezim otokrasi. Kedua generasi yang membentuk kelompok pemilih muda Indonesia di tahun 2024 tersebut masih puas dan menempatkan demokrasi sebagai sistem politik terbaik yang perlu untuk dipupuk di Indonesia.
Di sisi lain, terjadi juga pergeseran ketertarikan pemilih muda terhadap kepemimpinan nasional dari kepemimpinan yang merakyat dan sederhana menjadi karakter pemimpin yang jujur dan anti korupsi. Pergeseran tersebut diasumsikan terjadi karena meningkatnya ketertarikan anak muda terhadap isu-isu korupsi dan kebutuhan untuk mengedepankan agenda-agenda pencegahan dan pemberantasan korupsi ke depan.
Survei CSIS menemukan terjadi pergeseran ketertarikan pemilih muda terhadap karakter kepemimpinan nasional dibandingkan pemilu 2019 lalu. Satu bulan menjelang pemilu 2019 sebesar 39,2 persen responden berpendapat bahwa karakter pemimpin yang merakyat dan sederhana dibutuhkan untuk memimpin Indonesia, dan ketika itu hanya 11,1 persen responden yang mengatakan membutuhkan pemimpin yang jujur dan anti-korupsi. Tingginya kesukaan publik terhadap pemimpin yang merakyat dan sederhana mungkin bisa menjelaskan kemenangan presiden petahana Joko Widodo pada pemilu 2019, dibandingkan Prabowo Subianto yang dipersepsikan pemilih sebagai tokoh yang tegas dan berwibawa.
Pada survei Agustus 2022, CSIS menemukan terjadi perubahan kebutuhan pemilih muda terhadap kepemimpinan nasional mendatang. Sebanyak 34,8 persen responden berpendapat bahwa pemimpin yang jujur dan anti-korupsi dibutuhkan Indonesia dan 15,9 persen untuk karakter pemimpin yang merakyat dan sederhana. Selain itu juga terjadi peningkatan kebutuhan terkait pemimpin yang berpengalaman, yaitu naik dari 8,7 persen pada 2019 menjadi 16,8 persen pada 2022.
Survei ini juga merekam sejumlah kompetensi yang dibutuhkan bagi pemimpin Indonesia ke depan. Terdapat tiga kompetensi utama yang diinginkan oleh pemilih muda, di antaranya :
kemampuan untuk melakukan perubahan (28,7 persen), memimpin di saat krisis (21 persen), dan membuat kebijakan yang inovatif (14,8 persen) serta kompetensi lainnya (lihat gambar 7). Kami berpendapat bahwa faktor Covid-19 pada batas tertentu mempengaruhi cara pandang anak muda terhadap kompetensi pemimpin.
Faktor inovasi dan kepemimpinan di saat krisis dipandang perlu dalam kepemimpinan ke depan. Apalagi tantangan di tingkat domestik dan global ke depan diperkirakan akan menantang dan membutuhkan pemimpin yang cepat mengambil keputusan dan mampu memimpin dalam situasi krisis.
Selain itu, Salah satu asumsi umum dalam perdebatan politik Indonesia ialah menempatkan generasi muda sebagai kelompok yang apatis pada politik. Pandangan ini patut untuk diuji lebih lanjut. Pasalnya sebagai negara yang sedang menikmati bonus demografi, Indonesia pada saat yang sama juga menikmati potensi untuk perubahan politik dengan lahirnya generasi baru yang dapat- -memberikan warna baru pada perpolitikan nasional.
Dengan semakin baiknya infrastruktur digital di Indonesia, akses terhadap informasi menjadi lebih mudah. Ini membuat generasi muda sekarang cenderung memiliki literasi yang lebih baik terhadap informasi. Selain itu, teknologi juga memungkinkan anak-anak muda mengakses sumber-sumber informasi alternatif sebagai penyeimbang informasi yang disajikan oleh media-media konvensional. Hal ini pada gilirannya akan mendatangkan pandangan-pandangan yang beragam dalam banyak hal karena informasi tidak lagi dikuasai oleh segelintir pihak saja.
Hasil survei menunjukkan bahwa anak muda kini menjadikan media sosial sebagai sumber referensi informasi utama. Pada tahun 2018, baru ada 39.5 persen anak muda yang mengakses informasi lewat media sosial, sementara mereka yang mengakses informasi lewat televisi angkanya lebih tinggi yakni 41.3 persen.
Kecenderungan anak muda menggunakan media sosial menjadi lebih kritis dibandingkan mereka yang mengandalkan media konvensional juga terbaca dari evaluasi mereka terhadap kondisi ekonomi. Mereka yang intensitas menggunakan media sosialnya tinggi yang mengatakan bahwa kondisi ekonomi saat ini kurang baik adalah 34.4 persen. Sedangkan bagi mereka yang sedikit intensitas bermedia sosialnya adalah 24 persen. Ketidakpuasan pengguna media sosial ini terhadap kinerja pemerintahan juga lebih tinggi dibandingkan dengan pengguna media konvensional.
Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa semakin banyak anak muda memanfaatkan internet dan media sosial, kecenderungan mereka untuk kritis dan memahami isu-isu penting menjadi lebih tinggi. Hal ini mungkin dikarenakan karena mereka mendapat pandangan dari berbagai sudut pandang yang memperkaya cara pikir mereka.
Secara umum tulisan ini memotret pandangan anak muda yang relatif optimistik terkait isu-isu politik menjelang pemilu 2024. Meskipun sedikit mengalami penurunan, dukungan terhadap demokrasi masih tinggi, yakni di atas 60 persen. Demikian pula halnya kepuasan terhadap praktik demokrasi sehari-hari di mana mayoritas anak muda masih menganggap demokrasi berjalan secara baik. Catatan ada pada rendahnya kepercayaan terhadap lembaga perwakilan seperti DPR dan penegak hukum seperti KPK dan Polri. Ini memang bukan hal yang baru.
Tetapi ini menunjukkan aspek penegakan hukum dan dinamika politik kepartaian masih menjadi hal yang dipandang negatif oleh sebagian besar kalangan. Diperlukan upaya serius untuk melakukan reformasi dan perbaikan lembaga-lembaga kunci di bidang ini demi semakin baiknya kualitas demokrasi Indonesia ke depannya.
Partisipasi politik anak muda juga memperlihatkan citra yang menggembirakan. Tingkat partisipasi dalam pemilu terakhir boleh dibilang sangat tinggi, yakni 91,3 persen. Ini menunjukkan suara mereka yang strategis mengingat populasi anak muda, sebagai sebuah voting bloc, akan menjadi mayoritas dalam pemilu yang akan datang. Selain itu, sekitar 14 persen anak muda memiliki aspirasi untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR/DPRD dan kepala daerah. Ini juga merupakan kabar baik mengingat semakin banyak anak muda mencalonkan diri ke dalam jabatan publik, semakin besar kesempatan regenerasi kepemimpinan bisa dilakukan. Terkait keaktifan berorganisasi, sebanyak 21,6 persen mengaku terlibat dalam organisasi kepemudaan, sebanyak 16,8 persen terlibat dalam ormas, dan 14,1 persen dalam organisasi pelajar atau mahasiswa.
Persentase ini memang belum mayoritas, tetapi menunjukkan bahwa sebagian anak muda tetap aktif bergiat di komunitas mereka masing-masing.
Terakhir, tulisan ini menunjukkan bahwa penetrasi media sosial semakin tinggi dan semakin penting dalam membentuk dan menyalurkan aspirasi politik anak muda. Anak muda semakin terhubung dengan dunia di luar mereka. Mereka menyerap informasi terkait perkembangan global, dan sekaligus merefleksikan apa yang kurang dari konteks lokal mereka masing-masing. Perbandingan ini membuat mereka cenderung lebih kritis dalam melihat persoalan-persoalan politik sehari-hari. Anak muda yang aktif menggunakan sosial misalnya akan cenderung lebih kritis terhadap isu-isu lingkungan. Mereka yang menyatakan lebih sering mengakses informasi lewat internet daripada televisi juga melaporkan tingkat kritisisme yang lebih tinggi terhadap kinerja pemerintah. Ini mengingat mereka lebih terekspos dengan beragam berita-berita yang ada, bukan semata-mata bergantung dari satu sumber saja. Untuk itu, diperlukan kecermatan anak muda dalam memilah-milah informasi di dunia maya sekaligus upaya mitigasi dari pembuat kebijakan agar ruang digital kita menjadi lebih aman dan kondusif untuk berbagi informasi.